Lukas 10:25 -37 ; Ringkasan Khotbah Pdt. Titus Liem ; Minggu, 24 Februari 2019
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa “cara pandang kita terhadap orang lain akan mempengaruhi cara kita memperlakukan mereka”. Sadar atau tidak sadar, ungkapan tersebut seringkali terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari dalam memperlakukan orang-orang yang ada disekitar kita. Hal tersebut bukalah sesuatu yang baru. Alkitab juga memberitahu kita hal yang mirip melalui kisah Orang Samaria Yang Murah Hati. Suatu kisah yang sangat kita kenal dengan baik dan sering kita dengar sejak kita SM bahkan mungkin sampai saat ini.
Perumpamaan yang disampaikan Tuhan Yesus mengenai orang Samaria yang murah hati, dilatarbelakangi oleh pertanyaan seorang ahli Taurat yang bermaksud mencobaiNya. Ahli Taurat itu bertanya mengenai cara memperoleh hidup kekal, “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup kekal?” Tuhan Yesus menjawab, “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kau baca di sana?”. Ahli Taurat pun menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Luk 10:27).
Sang ahli Taurat dengan lancar bisa mengutip dengan benar hukum yang utama. Ia mengetahui hukum kasih. Dia hafal ayat-ayat kitab Taurat. Tapi waktu datang kepada Tuhan Yesus, ia bertanya, “Apa yang harus kuperbuat?” dan Tuhan Yesus berkata: “…perbuatlah demikian (lakukanlah hukum kasih itu), maka engkau akan hidup.” Namun setelah itu untuk membenarkan dirinya, dia bertanya lagi, “Siapakah sesamaku manusia?”
Pertanyaan ini kembali dilontarakan bukan karena Ahli Taurat ini tidak mengerti namun dengan harapan bahwa Tuhan Yesus menjawab dari kacamata orang Yahudi, bahwa sesamaku itu adalah orang-orang Yahudi, orang-orang yang sama dengan mereka atau golongan mereka. Selain itu ia juga tahu bahwa Tuhan Yesus bergaul dengan pemungut cukai, pelacur dll, yang menurut ahli Taurat dan imam, mereka adalah orang-orang najis bukan sesama yang mereka inginkan atau harapkan.
Untuk menjawab pertanyaan, “Siapakah sesamaku manusia itu?”, Tuhan Yesus menjawabnya dengan bercerita bahwa, ada seorang Yahudi turun dari Yerusalem ke Yerikho yang berjarak sekitar 27 km. Dalam perjalanannya orang ini telah dirampok habis-habisan oleh para penyamun, ia juga dipukuli, kemudian ditinggalkan tergeletak begitu saja di pinggir jalan tersebut. Orang itu disebutkan sudah “setengah mati” atau dalam kondisi yang mengenaskan. Orang ini sangat membutuhkan pertolongan.
Pada ayat 31, dikatakan kebetulan ada seorang imam turun. Begitu korban tersebut melihat ada imam, lalu ia berteriak minta tolong. Namun digambarkan bahwa si imam ini berjalan di seberang jalan karena sang imam sengaja menjauhkan diri dari si korban.
Yang kedua adalah orang Lewi yang membantu di bait Allah. Ternyata sama dengan sang imam, orang Lewi menyeberang jalan. Kedua orang yang dianggap orang suci, namun tidak peduli dan tidak menolong!
Mengapa mereka tidak mau menolong?
Meskipun Tuhan Yesus tidak menerangkan mengapa sang imam dan seorang Lewi tersebut tidak mau menolong si korban, namun para pendengar mengerti betul bahwa mereka adalah kelompok yang dikhususkan untuk melayani bait Allah. Mereka merupakan petugas-petugas suci dalam agama Yahudi dan orang yang paling dekat kepada Tuhan. Mereka bukan saja bertanggungjawab mengurus hal-hal yang berkenaan dengan mezbah dan persembahan kudus umat Tuhan, malah mereka diamanatkan suatu tugas yang mulia yaitu memimpin umat Tuhan untuk memegang hukum taurat dan melayani Tuhan.
Untuk menolong korban perampokan tersebut, imam dan orang Lewi mempunyai aturan, mereka tidak boleh menyentuh mayat karena akan menjadi najis, sehingga mereka tidak bisa melakukan tugas ritual mereka. Barangkali mereka mengira bahwa orang itu sudah mati, sehingga mereka tidak mau menajiskan dirinya (Im. 21:1—3). Namun sesungguhnya mereka sedang dalam perjalanan pulang ke Yerikho, bukan dari Yerikho ke Yerusalem. Atau, barangkali mereka tidak mau susah-susah mengahabiskan waktu, tenaga dan pikiran untuk hal yang kurang begitu penting.
Akan tetapi, apapun asumsi yang dibangun sebagai alasan mengapa sang imam dan orang Lewi tersebut tidak menolong orang yang baru saja dirampok dan terkapar setengah mati itu sungguh sangat ironis dengan jabatan mereka. Ketika bertemu dengan orang yang terluka itu, mereka sebaliknya menutup pintu hati terhadapnya. Walaupun mereka ini ahli dalam hal agama, namun mereka hanya tahu mengajar, tetapi tidak melakukannya. (Matius 23: 2-4) Mereka paham betul tentang hukum-hukum Allah. Dan mereka selalu memperkatakan kebenaran itu didepan umat Allah. Namun apa yang terjadi berdasarkan cerita itu? Seorang Imam dan seorang dari suku Lewi justru melewati begitu saja. Tidak ada pertolongan yang mereka berikan sebagai bentuk yang nyata dari kasih.
Setelah imam dan orang Lewi yang lewat dan tidak memberi pertolongan, lalu datanglah orang Samaria. Bisa jadi orang yang menjadi korban kejahatan “tidak berharap” orang Samaria menolong. Dalam keadaan sakit, terluka dan menjadi korban perampokan pun, ia masih bisa berpikir kalau bisa tidak usah meminta bantuan atau ditolong oleh orang Samaria. Mengapa demikian?
Dalam Injil Yoh 4:9 dikatakan orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria. Dia merupakan orang asing, dari suatu bangsa yang sangat dibenci oleh orang Yahudi (Lukas 9: 51-53; Yohanes 4: 9, 8:48).
Hal ini terjadi sudah berlangsung selama ratusan tahun (dari zaman nabi Ezra dan nabi Yeremia). Tahun 721 SM Israel ditaklukkan Asyur lalu semuanya diangkut ke Asyur untuk dijadikan budak, sedangkan yang lemah, bodoh dan cacat ditinggalkan. Kemudian datang orang Arab, lalu terjadi kawin-mengawin sehingga muncul orang Samaria yang merupakan campuran antara orang Yahudi dan non Yahudi. Orang Samaria dianggap tidak setia dan tidak dapat mempertahankan kemurnian mereka sebagai umat perjanjian. Orang Samaria sebetulnya adalah keturunan Yahudi tetapi sudah berdarah campuran. Sehingga dibenci dan dihindari oleh orang Yahudi asli.
Sungguh sesuatu yang luar biasa, ketika mendapati seorang Yahudi yang sekarat, justru orang Samaria yang dengan ikhlas dan penuh kasih memberikan pertolongan. Kisah ini sebetulnya cukup dramatis. Betapa tidak, orang yang ditolongnya bukan saja berasal dari kaum yang berbeda, tetapi dari kelompok yang selama ini menghina, membenci dan mengasingkan kaumnya.
Apa yang dilakukan orang Samaria ini? ia menyirami lukanya dengan minyak dan anggur, lalu membalut luka-lukanya. Sesudah itu kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
Orang Samaria ini melakukan tiga hal:
1. Berhenti untuk menolong dengan risiko yang besar terhadap dirinya sendiri.
2. Selain dari bahaya yang harus dihadapinya, orang Samaria harus menangani perasaan jengkelnya terhadap orang Yahudi yang selama ini menghina dan memandang rendah orang Samaria.
3. Biaya yang harus dibayar atau ditanggung.
Dari kisah ini kemudian Tuhan Yesus bertanya,” Siapa yang sesamamu manusia dari tiga orang itu?” Karena sangat bencinya ahli Taurat itu kepada orang Samaria maka ia tidak menjawab. Ahli Taurat tetap tidak mau bicara bahwa jawabannya orang Samaria yang baik hati itu. Ahli Taurat hanya mengatakan Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya (Luk 10:37). Tuhan Yesus kemudiaan berkata, “Pergilah dan berbuatlah kebaikan”.
Apakah bisa kita menjadi orang Samaria? Setelah jadi orang Kristen bisa jadi orang Samaria? Orang samaria, begitu melihat orang itu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Kalau menolong hanya untuk menunjukkan kita hebat, bisa dan mampu, apa gunanya? Apakah sekedar ingin dilihat dan dipuji orang lain? Kalau hanya itu motivasi kita, tinggal tunggu waktu saja. Jika bukan karena kasih Tuhan yang menggerakan maka mustahil kita dapat melakukan kasih dengan baik dan benar. Ijinkan saya mengutip apa yang pernah ditulis oleh anggota jemaat GKKK Malang (RS) yang mengatakan demikian:
Ternyata niat baik dan ketulusan hati tidak cukup, selalu butuh hikmat dan tuntunan TUHAN Selain itu kita juga butuh hati yang berbelas kasihan yang hanya bisa terjadi kalau kita benar-benar mengasihi Tuhan Yesus baru kita punya hati seperti hati Tuhan Yesus
Tuhan Yesus meminta sang ahli Taurat meneladani perbuatan orang Samaria yang murah hati (ayat 37). Sebuah perintah yang tidak mudah. Betapa kita semua butuh kasih karunia Tuhan untuk dapat menaati perintah-Nya. Bagi kita benar-benar sulit untuk belajar mengasihi jika kita sendiri belum mengalami kasih Allah. Kita hanya akan baik kepada orang yang juga baik terhadap kita, atau karena kita punya kepentingan tertentu. Namun, ketika kita mengingat kasih Allah kepada kita yang berdosa. Kristus mati ganti kita yang seharusnya mendapat hukuman kekal kita pun digerakkan dan dimampukan untuk mengasihi sesama, termasuk mereka yang dalam pandangan dunia tidak layak untuk dikasihi. Kiranya Tuhan menolong dan memampukan kita untuk belajar mengasihi seperti Tuhan Yesus yang sudah terlebih dahulu mengasihi kita. Kiranya kita dimampukan oleh Tuhan untuk dapat menjadi saluran belas kasihan-Nya sehingga banyak orang yang merasakan kasih Tuhan, disentuh hatinya dan dimenangkan bagi Tuhan. Amin.