Markus 10:17-30; Ringkasan Khotbah Pdt. Yuzo Adhinarta; Minggu, 10 November 2019
Tuhan Yesus bukan mencari penggemar, tapi mencari pengikut. Karena itu, Ia meminta komitmen “kasih” dari orang-orang yang mengikutnya. Perikop yang kita baca menyebutkan bahwa ada seorang muda, pemimpin agama dan kaya (di dalam kitab Injil lain) mendatangi Yesus dengan “berlari-lari” sambil “bertelut.” Caranya mendekati Yesus membuat kita terkagum, seolan-olah ia mau menunjukkan “kesungguhannya.” Ia bertanya: “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (ay. 17). Ia beranggapan bahwa hidup yang kekal diperoleh dengan melakukan berbagai perbuatan baik.
Yesus merespons orang muda itu. “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja.” Dengan kata lain, Yesus menyatakan bahwa “jika engkau mengatakan bahwa Aku Allah, apakah engkau menuruti apa yang Aku kehendaki?” Yesus lalu menjelaskan: “Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!” Mendengar jawaban dari Yesus, orang itu langsung menanggapi Yesus, “Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku.”
Ayat 21 menunjukkan respons Tuhan Yesus terhadap jawaban dan sikap orang muda itu. Ia menaruh kasih kepadanya. “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Pernyataan “hanya satu lagi kekuranganmu” bukan berarti bahwa kamu memang sudah melakukan banyak hal, dan hanya ada satu lagi yang perlu kamu tambahkan. Tapi, ada satu yang membuat semuanya itu menjadi tidak berarti. Hanya satu yang membuat semuanya itu tidak memenuhi standar, hanya seperti kain kotor di hadapan Allah. Ibaratnya, seperti relasi suami-istri: hanya satu yang membuat relasi itu menjadi tidak berguna yaitu bila tidak ada cinta. Jadi, ketiadaan cinta itu membuat semua hal yang dilakukan menjadi tidak berguna.
Tuhan perintahkan “juallah hartamu, berikan kepada orang miskin, dan ikutlah Aku.” Tuhan Yesus menguji orang muda ini (termasuk semua orang yang mengikut Dia) tentang satu hal ini, yakni mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal budi, dan mengasihi sesama. Jika tidak ada hal ini, maka semuanya akan menjadi sia-sia (bdk. 1 Kor. 13, “jikalau tanpa kasih, sia-sia”). Dengan kata lain, Tuhan Yesus menyampaikan kepada anak muda ini, “Jika engkau menyebut Aku Allah, apakah engkau mengasihi Aku dan sesamamu?” Mendengar perkataan itu anak muda ini menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya.
Setelah anak muda itu pergi, Tuhan Yesus mengajar murid-murid-Nya. “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah” (ay. 23). Hal ini membuat para murid terkejut (ay. 24). Tetapi Yesus menyambung lagi: “Anak-anak-Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Para murid semakin terkejut. “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?” (ay. 26).
Yesus memandang mereka dan berkata: “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” Seseorang bisa mengikut Tuhan dengan mudah, jika syarat-syaratnya ditentukan oleh manusia sendiri. Tapi, perikop yang kita baca tidak demikian. Tuhan yang menentukan syaratnya.
Orang muda ini sesungguhnya tidak mengenal Yesus. Ia ingin mengasihi Allah sebatas mendapatkan hidup yang kekal. Ia berpikir bahwa mengikut Yesus tidak sepenting mendapatkan hidup yang kekal. Sebaliknya, Tuhan Yesus menyatakan bahwa jika ingin mendapatkan hidup yang kekal maka ia harus menjadi “mempelai Kristus.”
Para murid menjadi gempar karena mereka pun memiliki konsep beragama seperti orang muda tersebut, “untuk memperoleh hidup yang kekal, maka seseorang harus melakukan sesuatu, tanpa harus mengasihi dan mengenal Allah.” Karena itu, bagi para murid, orang muda ini adalah orang yang paling layak untuk mendapatkan hidup yang kekal: masih muda (sehingga memiliki waktu yang panjang untuk berbuat baik), banyak harta (sehingga bisa berbuat amal lebih banyak), dan mengerti hukum Tuhan dan melakukan, dsb. Mendengar pengajaran Tuhan Yesus itu, Petrus berkata kepada Yesus “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!” Dengan kata lain, Petrus mau mengatakan bahwa “apa yang telah kami lakukan/tinggalkan, tidak sebanding dengan apa yang telah dilakukan oleh orang muda tersebut.” Petrus menyadari bahwa jika orang muda itu saja tidak beroleh hidup yang kekal, apalagi dirinya?
Tuhan Yesus menjawab Petrus, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai berbagai penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal” (ay. 29-30). Dengan kata lain, seseorang beroleh hidup yang kekal karena mengasihi Yesus sebagai Allah dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan, sehingga rela meninggalkan segala sesuatunya dan mengasihi sesamanya karena hidupnya sekarang untuk Tuhan. Hidup mengikut Yesus bukan berbicara tentang mendapatkan sesuatu tapi meninggalkan segala sesuatunya (“karena Aku dan karena Injil meninggalkan…”). Jadi, jika mau mengikut Yesus, maka kita harus meninggalkan segala sesuatunya karena hanya Yesus satu-satunya yang layak untuk dikasihi.
Komitmen dan kesungguhan ini harus dijalani dalam kehidupan sehari-hari. Apakah Allah saja sudah cukup bagi kita (Maz. 23:1)? Atau, “sekalipun hatiku dan dagingku habis lenyap…yang kuinginkan hanya Engkau….Sekalipun aku sakit…jatuh miskin, menderita, dipecat karena jujur,…sekalipun kehilangan segala sesuatu, tapi kasihku kepada Allah tidak tergoyahkan. Engkau adalah bagianku.” Surga adalah tempat yang Allah sediakan bagi orang yang habis-habisan bagi Allah juga karena Allah telah mengasihinya habis-habisan juga.
Jika kita tidak mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan, maka kita tidak layak mengikut Allah. Tidak mungkin mengikut Yesus tanpa mengasihi Dia dengan total. Allah sudah mengasihi kita dengan total. Hal yang tidak mungkin kita lakukan, telah dilakukan-Nya. Dia telah mati di kayu salib. Karena itu, Dia menghendaki agar kita pun mengasihi Dia dengan habis-habisan.